Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada rakyat Indonesia yang kesulitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Menurut Jokowi, segala persoalan yang muncul pada program e-KTP saat ini, disebabkan korupsi anggaran program itu sendiri.
"Kalau ada masalah, kekurangan blangko, keterlambatan, itu memang imbas dari problem e-KTP itu sendiri," ujar Jokowi di JIEXPO, Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (11/3/2017).
"Jadi, ya kami mohon maaf kalau masih ada problem yang seperti itu," lanjut dia.
Jokowi mengaku, program yang diluncurkan saat era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono itu memang menuai problem besar lantaran anggarannya dikorupsi.
Baca : Celoteh Prabowo Pada Lembaga Survey, Membangunkan Kesadaran Politik Baru
"Sekarang jadi 'bubrah' (kacau) semua gara-gara anggaran (pengadaan e-KTP) dikorup," ujar Jokowi.
Padahal, Jokowi yakin jika program tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar, maka sejumlah persoalan administrasi kependudukan dan yang lain di tanah air dapat terselesaikan.
"Kalau e-KTP jadi dan benar, kita bisa selesaikan banyak sekali itu masalah. Misal urusan paspor tanpa fotokopi KTP, SIM, perbankan, perpajakan, urusan Pilkada," ujar Jokowi.
Diberitakan, perkara dugaan korupsi e-KTP sudah memasuki sidang perdana. Perkara itu menjerat mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman, duduk di kursi terdakwa.
Baca juga : Ini Loh Cara Artis Mendukung yang Benar, Nggak Hanya Ikut-Ikutan
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/3/2017) lalu, diketahui bahwa sekira bulan Juli hingga Agustus 2010, DPR RI mulai melakukan pembahasan RAPBN TA 2011. Salah satunya soal anggaran proyek e-KTP.
Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku pelaksana proyek beberapa kali melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota DPR RI.
Kemudian disetujui anggaran senilai Rp 5,9 triliun dengan kompensasi Andi memberi fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Akhirnya disepakati 51 persen dari anggaran digunakan untuk proyek, sementara 49 persen untuk dibagi-bagikan ke Kemendagri, anggota DPR RI, dan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.
Sumber : kompas.com
"Jadi, ya kami mohon maaf kalau masih ada problem yang seperti itu," lanjut dia.
Jokowi mengaku, program yang diluncurkan saat era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono itu memang menuai problem besar lantaran anggarannya dikorupsi.
Baca : Celoteh Prabowo Pada Lembaga Survey, Membangunkan Kesadaran Politik Baru
"Sekarang jadi 'bubrah' (kacau) semua gara-gara anggaran (pengadaan e-KTP) dikorup," ujar Jokowi.
Padahal, Jokowi yakin jika program tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar, maka sejumlah persoalan administrasi kependudukan dan yang lain di tanah air dapat terselesaikan.
"Kalau e-KTP jadi dan benar, kita bisa selesaikan banyak sekali itu masalah. Misal urusan paspor tanpa fotokopi KTP, SIM, perbankan, perpajakan, urusan Pilkada," ujar Jokowi.
Diberitakan, perkara dugaan korupsi e-KTP sudah memasuki sidang perdana. Perkara itu menjerat mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman, duduk di kursi terdakwa.
Baca juga : Ini Loh Cara Artis Mendukung yang Benar, Nggak Hanya Ikut-Ikutan
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/3/2017) lalu, diketahui bahwa sekira bulan Juli hingga Agustus 2010, DPR RI mulai melakukan pembahasan RAPBN TA 2011. Salah satunya soal anggaran proyek e-KTP.
Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku pelaksana proyek beberapa kali melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota DPR RI.
Kemudian disetujui anggaran senilai Rp 5,9 triliun dengan kompensasi Andi memberi fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Akhirnya disepakati 51 persen dari anggaran digunakan untuk proyek, sementara 49 persen untuk dibagi-bagikan ke Kemendagri, anggota DPR RI, dan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.